Monday, March 27, 2017

"What should I do so I can forgive myself and move on?"



Memaafkan adalah soal mengikhlaskan.
Memaafkan adalah soal meyakinkan dirimu bahwa past is just a past and you're not going to live in it.
Memaafkan adalah soal menutup buku yang selama bertahun-tahun terus-menerus kamu buka sampai kamu hapal semua isinya dari titik pertama sampai titik terakhir
Memaafkan adalah soal menyadari bahwa kamu butuh ketenangan, bahwa kamu butuh kedamaian hati.
Memaafkan adalah soal memulai dari titik nol.




Aku lelah, dan aku butuh bermaaf-maafan

Monday, September 5, 2016

:(










Manusia adalah mahluk dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa, tapi bukan untuk hal ini.
Manusia bisa karena dirinya terbiasa, tapi bertahan dalam hubungan satu arah bukanlah hal yang seharusnya menjadi kebiasaan. 
Manusia didesain untuk menjadi pelakon interaksi dua arah yang butuh kepastian dan jawaban untuk mampu bertahan, dan tak peduli seberapa tegar seseorang, bila dihadapkan pada kondisi se-rumit bertahan dalam ilusi salah sangka itu, pada akhirnya ia akan memilih untuk mundur, walaupun hanya dengan membawa serpihan dirinya yang tersisa. Itu naluriah.




Perasaan tidak pernah jadi perkara sepele bagi saya.
Merasakan apa yang belum pernah dirasakan bukan hal yang sulit, tetapi menghapuskan rasa yang seharusnya tidak pernah terbentuk butuh proses panjang yang menyakitkan.
Bangkit dari keterpurukan yang menyesakkan itu tak pernah jadi proses yang mudah.
Dan for God's sake, I'll do anything to keep myself away from being in that kind of process.




Diam bukan berarti tak ada yang harus disampaikan.
Senyuman bukan berarti tak ada luka yang mengikis.
Jadi tolong, mengertilah...

Sunday, March 13, 2016

Sudah waktunya

Sudah waktunya, Nis.

Sudah waktunya menerima kenyataan bahwa anganmu bukanlah kenyataan yang masih nyaru.
Sudah waktunya menerima kenyataan bahwa ia yang kau damba selama ini hanyalah isyarat yang kau salah artikan, bahwa ia adalah satu dari sekian banyak kesalahan yang pernah kau buat.
Sudah waktunya menerima kenyataan bahwa hidupmu dan hidupnya bukanlah diagram Venn yang dibuat untuk saling memotong satu sama lain. Kau dan ia bukanlah dua garis yang diciptakan untuk saling bersinggungan.
Jadi pergilah..  Jangan lagi berandai-andai atas jalan yang bukan milikmu.
Mulailah berjalan. Tak perlu kesiapan, tak perlu alat navigasi, just walk. Biarkan semesta menjadi kompasmu satu-satunya. Semesta tidak akan membiarkanmu tersesat.
Berjalanlah, cari tempat berpulang terbaikmu, cari pelabuhan terakhirmu.

Yakinilah bahwa Tuhan adalah sebaik-baiknya sutradara dari semua drama kehidupan. Dan kau, percaya Tuhan dan dirimu sama-sama menginginkan yang terbaik.
One last cry? Tidak usahlah, menangis akan menyebabkan kelelahan yang tidak jelas.

Berjalanlah, bukan karena kau terpaksa tapi karena kau membutuhkan perjalanan yang lebih indah...




Jika kau menyayanginya, bahagianya akan menjadi bahagiamu, sedihnya juga akan menjadi sedihmu.
Cinta lebih dari sekedar ketertarikan. Cinta adalah sebuah pemahaman. Memahami tanpa harus berucap, menyayangi tanpa harus terikat. When it comes to love, tujuanmu adalah untuk membahagiakannya, bukan untuk memilikinya. Dan aku, aku ingin kau bahagia. 




Bandar Lampung, 13 Maret 2016.
Aku ingin bahagia. Kamu juga, kan?

Sunday, November 22, 2015

Mengertilah..

Agama, Keluarga, Sekolah, Teman, OSIS, Ekskul.
Inget banget, 4 tahun yang lalu, saya nyebutin 6 poin itu dengan urutan yang sama.
Agama di atas semuanya. Keluarga di atas sekolah. Sekolah di atas teman dan organisasi.



Keluarga adalah hal yang vital buat saya.
Keputusan saya untuk memilih jalan hidup seperti ini adalah karena keluarga.
Fakta bahwa saya tetap bertahan di tempat seperti ini juga adalah karena keluarga.
Sepenting itulah keluarga buat saya. Seberpengaruh itu.

My mother went through an indescribable hard times untuk membuat saya ada di dunia ini. Saat saya masih kecil, beliau bolak-balik kantor just to make sure that I arrived safely at home. Beliau begadang berhari-hari untuk dapat rejeki lebih biar bisa punya simpanan untuk kuliah saya. Bertaruh nyawa, tenaga, waktu hanya untuk seonggok manusia ini. While my father, he spends more than half of his time working hard to make sure that I live well. He saves his money for me walaupun keuangan sedang tidak bersahabat. Saat gak ada orang di rumah, beliau bela-belain mampir ke rumah makan untuk beli lauk in spite of exhaustion just to make sure that I have something to eat. Beliau mempertaruhkan waktu, tenaga, dan pikirannya juga untuk saya.

Semua pertaruhan itu priceless. Gak bisa dinilai secara kuantitatif. Gak bisa dibayar dengan materi. Gak bisa ditukar dengan apapun.
Dan saya, sebagai seorang anak, have promised myself to give them what they deserve.
Saat ini, apa lagi yang bisa saya beri kepada mereka selain kabar bahagia?
Apa lagi yang bisa saya beri selain the fact that I live well and they have nothing to worry about?
Apa lagi yang bisa saya beri selain waktu untuk mereka?
Apa lagi yang bisa saya beri selain presence di saat ada kesempatan?


So, ketika suatu waktu saya pulang, dan meninggalkan tetek bengek disini, I must have my own reason.
I don't go home untuk senang-senang nor lari dari kenyataan. Saya gak se-dangkal itu. Saya gak se-childish itu.
More than just about me, I go home for my family, for my parents.
I go home to make sure that they are okay and they live well.
I go home untuk memberikan sebuah kebahagiaan, karena hanya inilah yang bisa saya lakukan. To be present, to be there for them.



People have their own fight. They have their own need, and they have their own little secrets. So, respect each other :)
Ketika ingin membuat suatu perubahan, jadilah orang yang memegang andil paling besar dalam prosesnya, jangan mengandalkan orang lain, jangan membuat orang lain yang justru mengerjakan perubahan itu. Bukan seperti itu cara melakukan perubahan!


Kalau kamu yang beride, kamu jugalah yang jadi salah satu eksekutornya!
Jangan kamu yang beride, tapi orang lain yang jadi eksekutor, itu namanya biadab.
Ibaratnya seperti ini..
Kamu ingin menciptakan sebuah temuan baru, yang dimana saat itu kamu cuma punya pemikiran se-sederhana "saya mau buat ini karena ini bisa bermanfaat bagi orang banyak". Tapi pada prosesnya, untuk menjadikan pemikiran sederhana itu menjadi sesuatu yang real, kamu membuat orang lain yang turun ke lapangan, orang lain yang merealisasikannya, bukan kamu, dengan alasan "saya ingin memberikan orang lain kesempatan untuk menambah pengalamannya, saya ingin orang lain juga belajar". Karena alasan mulia itu, jadilah kamu sebagai pengamat nomor wahid, jadi pengawas ceritanya, ya mungkin sambil sesekali mengoreksi. Memberi saran atau bantu langsung? Hm sepertinya tidak, toh mereka ada disini untuk belajar, and problem solving is a part of learning. Dan ketika temuan yang dulunya hanya sebatas pemikiran itu akhirnya terealisasi, kamulah yang jadi pemegang hak patennya, kamu yang dielu-elukan masyarakat sebagai sang inventor, karena kamu adalah orang pertama yang memiliki ide akan itu. Biadab kan?


Hey..
Kami tidak butuh pemimpin yang hanya bisa jadi pengamat. Semua orang bisa jadi pengamat. 
Anak SD saja, asal diedukasi terlebih dahulu, bisa jadi pengamat yang baik. Percayalah, sudah terlalu banyak pengamat di dunia ini, and we don't need one.
Kami butuh sosok yang bisa menjadi role model untuk kami, yang kami tahu betul kinerjanya disamping mengamati, yang kami tahu betul kapabilitasnya.
Kami butuh sosok yang bersedia berjuang di lini terdepan, yang akan senantiasa menarik kami ketika tidak ada lagi tenaga kami yang tersisa, bukannya malah memerintah dari atas.
Kami butuh sosok yang bisa dijadikan tempat mengadu, bukan karena alasan memang harus laporan, tapi karena ia memang pantas jadi tempat untuk itu. 
Tapi intinya, kami butuh sosok yang kami tahu akan berjuang lebih keras dibandingkan kami. Hm.


Dan pertanyaan terakhir..
Sudahkah jadi orang itu, wahai Agent of Change?

Thursday, October 1, 2015

huh




"Aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu aku gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang aku sanggup menikmati bayangannya dan tidak akan pernah bisa aku miliki, seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangan ini sanggup mengejar, seseorang yang hanya bisa aku kirimi isyarat, sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selamanya harus dibiarkan berupa sebentuk punggung, karena kalau sampai ia berbalik, niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa." 
- Dee. Rectoverso, Hanya Isyarat -


Everyday QOTD.
Tq. 

Friday, July 31, 2015

Huu payah

HP ilang lagi, entah untuk ke-berapa kalinya.
Gaenak sama orang tua.
Untuk kali ini, ga akan bullshit, gua gamau dibeliin HP lagi. Belajar menabung.






Tapi yang lebih penting dibandingkan belajar menabung..
Belajar menolak, Nis.
Belajar untuk mengontrol keadaan dengan mengucapkan kata "Tidak".
Kendalikan semuanya sebelum alam bawah sadar yang ambil kendali.

If bad things happen,
Jangan salahkan keadaan, karena bukan keadaan yang salah.
Jangan salahkan orang lain, karena orang lain tidak benar-benar tahu apa yg sesungguhnya terjadi.
Yang salah disini hanya kamu, Nis. Kamu dan ketidakmampuanmu untuk berkata "Tidak".




Setelah terjadi beberapa kali, apa masih mau bilang korelasi antara ketidak-mampuan untuk menolak dan hilangnya benda vital ini adalah sebuah kebetulan?